Tuesday, April 7, 2009

GAMBARAN TINGKAT KECEMASAN KELUARGA PASIEN STROKE YANG DIRAWAT DI RUANG MAWAR RSUD UNDATA PALU TAHUN 2008

B A B I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang biasanya melibatkan ketakutan, ketegangan dan kekhawatiran serta umumnya dihubungkan dengan antisipasi adanya suatu ancaman (Moira, 1996:19).

Kecemasan merupakan respon individu terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang dialami oleh setiap mahluk hidup dalam kehidupan sehari-hari. Kecemasan merupakan pengalaman subjektif dari individu dan tidak dapat diobservasi secara langsung serta merupakan suatu keadaan emosi tanpa objek yang spesifik. Kecemasan pada individu dapat memberikan motivasi untuk mencapai sesuatu dan merupakan sumber penting dalam usaha memelihara keseimbangan hidup. Kecemasan terjadi sebagai akibat dari ancaman terhadap harga diri yang sangat mendasar bagi keberadaan individu. Kecemasan dikomunikasikan secara interpersonal dan merupakan bagian dari kehidupan sehari hari, menghasilkan peringatan yang berharga dan penting untuk memelihara keseimbangan diri dan melindungi diri (Suliswati, 2005:108).

Tekanan mental atau kecemasan yang diakibatkan oleh kepedulian yang berlebihan akan masalah yang sedang dihadapi (nyata) ataupun yang dibayangkan mungkin terjadi. Terlebih karena stroke merupakan masalah serius karena dapat menyebabkan kematian, kecacatan, dan biaya yang dikeluarkan sangat besar. Karena itu, perlu usaha pencegahan untuk terjadinya stroke primer maupun stroke sekunder (stroke ulang). Salah satu faktor risiko yang penting untuk terjadinya stroke adalah hipertensi. Oleh karena itu, dengan mengendalikan tekanan darah, angka kejadian stroke primer maupun stroke sekunder dapat diturunkan (Sarkamo, 2008: 2).

Stroke menduduki urutan ketiga penyebab kematian setelah penyakit jantung dan kanker. Stroke masih merupakan penyebab utama dari kecacatan. Data menunjukkan, setiap tahunnya stroke menyerang sekitar 15 juta orang di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, lebih kurang lima juta orang pernah mengalami stroke. Sementara di Inggris, terdapat 250 ribu orang hidup dengan kecacatan karena stroke. Di Asia, khususnya di Indonesia, setiap tahun diperkirakan 500 ribu orang mengalami serangan stroke. Dari jumlah itu, sekitar 2,5 persen di antaranya meninggal dunia. Sementara sisanya mengalami cacat ringan maupun berat. Angka kejadian stroke di Indonesia meningkat dengan tajam. Bahkan, saat ini Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia, karena berbagai sebab selain pemyakit degeneratif, terbanyak karena stres ini sangat memprihatinkan mengingat Insan Pasca Stroke (IPS) biasanya merasa rendah diri dan emosinya tidak terkontrol dan selalu ingin diperhatikan (Sarkamo, 2008: 2).

Biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan stroke dan kehilangan mata pencaharian sangat tinggi. Di Amerika Serikat, pada 1981 pernah dihitung biaya yang dikeluarkan untuk perawatan pasien stroke, yaitu sebanyak 7 milyar dolar dan pada 1996 meningkat menjadi 40 milyar dolar. Biaya tersebut terdiri dari direct costs (biaya rumah sakit, dokter, dan rehabilitasi) sebanyak 27 milyar dolar dan indirect costs (kehilangan produktivitas) sebanyak 13 milyar dolar. American Heart Association memperkirakan total biaya menjadi 51 milyar dolar pada 1999. Dapat disimpulkan bahwa kecemasan yang timbul pada keluarga pasien stroke terjadi karena ketidaktahuan terhadap apa yang akan terjadi terhadap anggota keluarga mereka (Sarkamo, 2008: 3).

Data yang didapatkan dari RSUD Undata Palu pada bulan Januari sampai April tahun 2008 tentang jumlah keseluruhan pasien yang dirawat inap adalah 4957 0rang dan pasien stroke yaitu 176 0rang (3,55%) dari jumlah keseluruhan paien rawat inap dengan jumlah rata-rata perbulannya adalah 44 0rang (25%). Dengan demikian dapat dilihat bahwa jumlah pasien stroke masih cukup banyak dan mungkin akan meningkat dalam setiap bulannya dimana penyakit stroke sendiri dapat menimbulkan hal-hal yang dapat mempengaruhi psikologi maupun fisik baik pasien sendiri maupun keluarga termasuk dalam hal pembiayaan serta penyakit stroke sendiri membutuhkan perawatan yang lama oleh karena itu mempengaruhi kecemasan keluarga.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Gambaran Tingkat kecemasan Keluarga Pasien Stroke Yang Dirawat Di Ruang Mawar RSUD Undata Palu Tahun 2008”.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah:
Bagaimana gambaran tingkat kecemasan keluarga pasien stroke yang dirawat di ruang Mawar RSUD Undata Palu?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Diketahuinya gambaran tingkat kecemasan keluarga pasien stroke yang dirawat di ruang Mawar RSUD Undata Palu.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya tingkat kecemasan keluarga pasien stroke yang dirawat di ruang Mawar RSUD Undata Palu ditinjau dari umur.
b. Diketahuinya tingkat kecemasan keluarga pasien stroke yang dirawat di ruang Mawar RSUD Undata Palu ditinjau dari pendidikan.
c. Diketahuinya tingkat kecemasan keluarga pasien stroke yang dirawat di ruang Mawar RSUD Undata Palu ditinjau dari pekerjaan.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Bagi Institusi RSUD Undata Palu
Sebagai bahan masukan dalam rangka peningkatan program pelayanan kesehatan bukan saja kepada pasien stroke, akan tetapi juga pelayanan kepada keluarga pasien terlebih yang mengalami kecemasan.
2. Manfaat bagi Perawat
Sebagai masukan agar perawat lebih meningkatkan mutu pelayanan, secara menyeluruh pada keluarga pasien.
3. Manfaat bagi Peneliti
Untuk memperoleh pengalaman yang nyata dalam melakukan penelitian.

E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di ruang Mawar RSUD Undata Palu pada bulan Juli 2008.

Download File Lengkap

PERBEDAAN PREVALENSI PENYAKIT DIARE PADA BAYI DENGAN ASI EKSKLUSIF DAN TIDAK EKSKLUSIF DI PUSKESMAS BIROBULI PALU TAHUN 2008

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan agar bayi baru lahir mendapat ASI eksklusif (tanpa tambahan apa-apa) selama enam bulan. Sebab, menurut Badriul Hegar, ASI adalah nutrisi alamiah terbaik bagi bayi dengan kandungan gizi paling sesuai untuk pertumbuhan optimal (Suririnah, 2008 :10).

Pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif pada bayi di Indonesia berlandaskan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 450/Men.Kes/SK/IV/2004 tanggal 7 April 2004. Ini juga mengacu kepada Resolusi World Health Assembly (WHA.2001). Di situ dikatakan, untuk mencapai pertumbuhan perkembangan dan kesehatan optimal, bayi harus diberi ASI eksklusif selama 6 bulan pertama, selanjutnya untuk kecukupan nutrisi bayi harus mulai diberi makan pendamping ASI cukup dan aman dengan pemberian ASI dilanjutkan sampai usia 2 tahun atau lebih (Suririnah, 2008 :11).

Di Indonesia, sesuai kebijakan pemerintah, sebagian besar perusahaan menerapkan kebijakan pemberian cuti melahirkan hanya tiga bulan. Karena itu, kendati kampanye nasional pemberian ASI eksklusif selama enam bulan dicanangkan, kenyataannya hal itu sulit dilakukan bagi ibu yang bekerja di luar rumah. Kondisi fisik dan mental yang lelah setelah bekerja sepanjang hari telah menghambat kelancaran produksi ASI (Suririnah, 2008 :10).

Berdasarkan data SDKI bayi usia 4 bulan pada tahun 2002-2003 hanya 55 persen yang memberikan ASI eksklusif, bahkan lebih parahnya bayi usia 6 bulan hanya 39,5 persen dari keseluruhan bayi. Secara otomatis pemakaian susu formula meningkat 3 kali lipat antara tahun 1997 – 2002 (Suririnah, 2008 :10).
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, peningkatan pemberian ASI merupakan kegiatan strategis yang dapat menurunkan subsidi pemerintah daerah untuk kesehatan bayi dan anak lebih sehat sehingga menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi dengan dampak juga akan meningkatkan kualitas SDM daerah di masa mendatang (Suririnah, 2008 :10).

Permasalahan dalam pemberian ASI eksklusif adalah masih rendahnya pemahaman ibu, keluarga dan masyarakat tentang ASI. Kebiasaan memberi makanan/minuman secara dini dari sebagian masyarakat juga memberi pemicu dari kurang berhasilnya pemberian ASI eksklusif (Suririnah, 2008 :11).
Kemajuan teknologi dan canggihnya komunikasi serta gencarnya promosi susu formula pengganti ASI, membuat masyarakat kurang percaya akan keampuhan ASI dan tergiur untuk memilih susu formula. Padahal, promosi penambahan AA, DHA, ARA dan sebagainya sudah ada dalam komposisi ASI, pun zat kekebalan tubuh (antibodi) untuk ketahanan tubuh bayi dan tidak terdapat dalam susu formula (Suririnah, 2008 :11).

Diare diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dan frekuensinya lebih banyak dari biasanya. Neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari 4 kali. sedangkan untuk bayi lebih dari 1 bulan dan anak dikatakan diare jika frekuensi lebih dari 3 kali ( Staf pengajar IKA FKUI, 2000:1)

Diare merupakan salah satu penyakit utama pada bayi di Indonesia sampai saat ini. menurut survey pemberantasan penyakit diare tahun 2000 bahwa angka kesakitan atau insiden diare terdapat 301 per 1000 penduduk di Indonesia. Angka kesakitan diare pada balita 1,0 – 1,5 pertahun (DepKes RI, 2000: 3).
Menurut survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) DepKes RI tahun 2000, bahwa 10% penyebab kematian bayi adalah diare. Data statistik menunjukkan bahwa setiap tahun diare menyerang 50 juta penduduk Indonesia dan dua pertiganya adalah bayi dengan korban meninggal sekitar 600.000 jiwa (Widjaya, 2002: 2).
Pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif pada bayi 0-6 bulan sangat berpengaruh terhadap frekuensi kejadian diare. Berdasarkan hasil penelitian Roesli (2000) dalam Purwanti, 2004 menunjukkan bahwa bayi yang tidak diberi ASI eksklusif mempunyai kemungkinan 14,2 kali lebih sering terkena diare dibandingkan dengan yang mendapat ASI eksklusif. Hal ini dapat disebabkan karena ASI mengandung nilai gizi yang tinggi, adanya antibodi, sel-sel leukosit, enzim, hormon dan lain-lain yang dapat melindungi bayi dari berbagai infeksi (Soetjiningsih, 1997: 12)

Data yang didapatkan dari wilayah kerja Puskesmas Birobuli pada bulan Januari sampai Mei 2008 yaitu jumlah keseluruhan bayi adalah 597 dan bayi yang mendapat ASI eksklusif adalah 419 bayi (70%) dan yang tidak mendapat ASI eksklusif adalah 178 bayi (30%) serta angka kejadian diare pada bayi adalah 183 bayi (30,6%). Dengan demikian cukup banyak jumlah bayi yang menderita diare yang mana belum diketahui apakah bayi-bayi mendapat ASI eksklusif atau tidak.

Dengan melihat hal di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Perbedaan prevalensi penyakit diare pada bayi dengan ASI eksklusif dan tidak eksklusif di Puskesmas Birobuli Palu tahun 2008”.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah ada perbedaan prevalensi penyakit diare pada bayi dengan ASI eksklusif dan tidak eksklusif di Puskesmas Birobuli Palu tahun 2008?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Diketahuinya perbedaan prevalensi penyakit diare pada bayi dengan ASI eksklusif dan tidak eksklusif di Puskesmas Birobuli Palu tahun 2008.
2. Tujuan khusus
a. Diketahuinya prevalensi penyakit diare pada bayi dengan ASI ekslusif di Puskesmas Birobuli Palu.
b. Diketahuinya prevalensi penyakit diare pada bayi dengan tidak eksklusif di Puskesmas Birobuli Palu
c. Diketahuinya perbedaan prevalensi penyakit diare pada bayi dengan ASI eksklusif dan tidak eksklusif di Puskesmas Birobuli Palu

D. Manfaat Penelitian
1. Untuk Puskesmas Birobuli Palu.
Memberikan gambaran tentang prevalensi penyakit diare pada bayi dengan ASI eksklusif dan tidak eksklusif sehingga pihak puskesmas bisa memberikan penyuluhan tentang pentingnya ASI eksklusif.
2. Untuk peneliti lainnya
Sebagai bahan informasi untuk penelitian selanjutnya.
3. Untuk penulis
Merupakan pengalaman yang nyata dalam melakukan penelitian sederhana dan mengaplikasikan ilmu tentang metodologi penelitian yang didapat di bangku kuliah serta bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengetahuan.

E. Ruang Lingkup penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di Puskesmas Birobuli Palu pada bulan Juli tahun 2008.

Download File Lengkap